Sabtu, 24 Juni 2017

Kasus anak Terlantar di Bekasi

[BEKASI] Sejak tinggal dan menginap di pos satpam perumahan, DA (8) tidak di izinkan oleh kedua orang tuanya Utomo Permono (45) dan Nurindria Sari (42) untuk peergi ke sekolah. Begitu pula dengan kakak kembarnya, LS (10) dan CK (10), tidak diperkenankan pergi ke sekolah sejak sebulan belakangan ini.

"Sejak DA tidur di pos satpam, kedua orangtuanya melarang mereka berangkat ke sekolah,” ujar Bendahara RT 03, Fatimah, Jumat (15/5).

Dia mengatakan, DA bersama dengan kakak kembarnya LS dan CK, merupakan murid SD N Cileungsi I, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. DA baru duduk di bangku kelas II, kakak kembarnya duduk di Kelas IV. Sedangkan dua adik perempuannya yakni AL dan DN belum bersekolah. Menurut pengakuan DA, kata Fatimah, orangtuanya mengatakan anak-anaknya tidak perlu lagi mengecap pendidikan di sekolah.

"Kata papa, enggak perlu sekolah lagi," ujar Fatimah menirukan ucapan DA beberapa waktu lalu.

Warga sekitar, sambung Fatimah, sudah mulai curiga dengan keluarga Utomo Purnomo dan Nurindria Sari sejak empat hari tinggal di Citra Gran Cibubur, Cluster Nusa Dua Blok E No. 37, RT 03/RW 11 Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Saat itu, kata dia, kecurigaan warga muncul setelah mendapati DA tengah menangis pada malam hari di depan rumahnya.

"Mereka tinggal disini sekitar satu tahun. Namun baru empat hari menetap, kami mulai curiga ada yang tidak beres dengan keluarga ini. Saat itu, kami melihat anaknya (DA) menangis malam hari sekitar pukul 20:00 WIB. Itu kasus yang pertama dan kami sepakat untuk melaporkan hal ini kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) bila terjadi lagi hal serupa,” ungkap Fatimah.

Setelah kejadian itu, ternyata menyusul kasus-kasus kekerasan lainnya yang menimpa kelima anaknya terutama terhadap DA.

“Tetangga di sebelah rumah sering mendengar teriakan DA yang disakiti. Pernah satu ketika, warga melihat pungung DA tampak luka lebam. Setelah ditanya ternyata, dirinya mendapat pukulan dari ibunya,” papar Fatimah.

"Kami menanyakan hal itu karena kasihan. Tapi jawaban DA, anak laki-laki harus didik seperti ini, tidak boleh cengeng," kenang Fatimah. 

Meski begitu warga sekitar melaporkan kekerasan ini kepada pihak berwajib maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau Komisi Nasional Perlindungan Anak. Warga sekitar, tidak diam menyaksikan kasus kekerasan dan penelantaran anak-anak di wilayahnya. Bahkan, beberapa warga aktif memberikan informasi kepada pihak berwenang.

"Sampai muncul adanya broadcast BBM dan di media sosial lainnya. Kasus ini langsung ditangani oleh pihak berwajib," imbuhnya. [160/L-8]

Analisis:
Berdasarkan kasus penelantaran anak yang terjadi di Bekasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penelantaran anak dan kekerasan yaitu kurangnya interaksi antara orangtua dengan anak. Sehingga apabila anak melakukan kesalahan, orangtua selalu menganggap bahwa kesalahan tersebut akibat anaknya yang nakal. Selain itu orangtua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Serta pemahaman yang salah tentang makna mendidik anak. Sebab sesuai dengan kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Bekasi ini, orangtua menganggap bahwa dengan kekerasan adalah salah satu cara untuk mendidik agar anak tidak cengeng.

Kasus-kasus penelantaran anak yang sering terjadi saat ini tidak hanya meresahkan bagi pihak keluarga pelaku, namun juga warga masyarakat. Karena dampak yang ditimbulkan dari perilaku penelantaran tidak hanya bersifat sementara, namun ada juga dampak dalam jangka panjang. Dampak dari penelantaran pada anak diantaranya adalah trauma yang akan dialami oleh anak, peniruan sikap dari orang tuanya, masa depan anak menjadi kurang jelas, serta sikap membenci pada orang tua yang telah menelantarkannya.
               
Pada UUD RI 1945 Pasal 28A memuat “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selain itu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (1989) juga memuat tentang jaminan perlindungan terhadap penyiksaan, hak atas nama dan identitas kewarganegaraan, dan hak atas jaminan sosial.

Daftar Pustaka:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar