Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang
aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah
menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong
Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan
kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof.
Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada
tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh
Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur
mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha
agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji
sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati
oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT.
CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT.
CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah
dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur
Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah
dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas
rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya
bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi
buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan
12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per
hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan
ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih
aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan
perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh
yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka
dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah
bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan
rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar
pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat
pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu
Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam
dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan
satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental
selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control
dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga
termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka
sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan
Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya
rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan
memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah
seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota
TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto
(pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat
rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry
putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun
penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga
12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
“direkayasa”.
Analisis:
Berdasarkan apa yang di beritakan oleh kasus di
atas, kasus di atas merupakan kategori kasus pelanggaran HAM karna dalam kasus
tersebut terdapat unsur – unsur pelanggaran HAM yang ada di dalam Pasal 9 UU No
26 Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure
pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan
dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
1) Pembunuhan;
2) Pemusnahan;
3) Perbudakan;
4) pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa;
5) Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) Penyiksaan;
7) Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara,
8) Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
9) Penghilangan
orang secara paksa;
10) Kejahatan
apartheid.
Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam
penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang
berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni
Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian
kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM
dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut :
1) Tahap
Penyelidikan ( Komnas HAM )
2) Tahap
Penyidikan ( Jaksa Agung )
3) Tahap
Penuntutan ( Jaksa Agung )
4) Pemeriksaan
Di Pengadilan HAM
Daftar Pustaka:
Sumber: di olah dari UU No. 26 Tahun 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar