Selasa, 12 Desember 2017
Kamis, 19 Oktober 2017
Jumat, 13 Oktober 2017
Rabu, 04 Oktober 2017
Sabtu, 24 Juni 2017
Kasus anak Terlantar di Bekasi
[BEKASI] Sejak tinggal
dan menginap di pos satpam perumahan, DA (8) tidak di izinkan oleh kedua orang
tuanya Utomo Permono (45) dan Nurindria Sari (42) untuk peergi ke sekolah.
Begitu pula dengan kakak kembarnya, LS (10) dan CK (10), tidak diperkenankan pergi
ke sekolah sejak sebulan belakangan ini.
"Sejak DA tidur di pos satpam, kedua
orangtuanya melarang mereka berangkat ke sekolah,” ujar Bendahara RT 03,
Fatimah, Jumat (15/5).
Dia mengatakan, DA bersama
dengan kakak kembarnya LS dan CK, merupakan murid SD N Cileungsi I, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. DA baru duduk di bangku kelas II, kakak kembarnya duduk di
Kelas IV. Sedangkan dua adik perempuannya yakni AL dan DN belum bersekolah.
Menurut pengakuan DA, kata Fatimah, orangtuanya mengatakan anak-anaknya tidak
perlu lagi mengecap pendidikan di sekolah.
"Kata papa, enggak
perlu sekolah lagi," ujar Fatimah menirukan ucapan DA beberapa waktu lalu.
Warga sekitar, sambung
Fatimah, sudah mulai curiga dengan keluarga Utomo Purnomo dan Nurindria Sari
sejak empat hari tinggal di Citra Gran Cibubur, Cluster Nusa Dua Blok E No. 37,
RT 03/RW 11 Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa
Barat. Saat itu, kata dia, kecurigaan warga muncul setelah mendapati DA tengah
menangis pada malam hari di depan rumahnya.
"Mereka tinggal
disini sekitar satu tahun. Namun baru empat hari menetap, kami mulai curiga ada
yang tidak beres dengan keluarga ini. Saat itu, kami melihat anaknya (DA)
menangis malam hari sekitar pukul 20:00 WIB. Itu kasus yang pertama dan kami
sepakat untuk melaporkan hal ini kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) bila terjadi lagi hal serupa,” ungkap Fatimah.
Setelah kejadian itu, ternyata
menyusul kasus-kasus kekerasan lainnya yang menimpa kelima anaknya terutama
terhadap DA.
“Tetangga di sebelah
rumah sering mendengar teriakan DA yang disakiti. Pernah satu ketika, warga
melihat pungung DA tampak luka lebam. Setelah ditanya ternyata, dirinya
mendapat pukulan dari ibunya,” papar Fatimah.
"Kami menanyakan
hal itu karena kasihan. Tapi jawaban DA, anak laki-laki harus didik seperti
ini, tidak boleh cengeng," kenang Fatimah.
Meski begitu warga sekitar
melaporkan kekerasan ini kepada pihak berwajib maupun Komisi Perlindungan Anak
Indonesia atau Komisi Nasional Perlindungan Anak. Warga sekitar, tidak diam
menyaksikan kasus kekerasan dan penelantaran anak-anak di wilayahnya. Bahkan,
beberapa warga aktif memberikan informasi kepada pihak berwenang.
"Sampai muncul
adanya broadcast BBM dan di media sosial lainnya. Kasus ini langsung ditangani
oleh pihak berwajib," imbuhnya. [160/L-8]
Analisis:
Berdasarkan kasus
penelantaran anak yang terjadi di Bekasi sebagaimana telah dijelaskan di atas,
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penelantaran anak dan kekerasan
yaitu kurangnya interaksi antara orangtua dengan anak. Sehingga apabila anak
melakukan kesalahan, orangtua selalu menganggap bahwa kesalahan tersebut akibat
anaknya yang nakal. Selain itu orangtua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan
kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Serta
pemahaman yang salah tentang makna mendidik anak. Sebab sesuai dengan kasus
kekerasan terhadap anak yang terjadi di Bekasi ini, orangtua menganggap bahwa
dengan kekerasan adalah salah satu cara untuk mendidik agar anak tidak cengeng.
Kasus-kasus
penelantaran anak yang sering terjadi saat ini tidak hanya meresahkan bagi
pihak keluarga pelaku, namun juga warga masyarakat. Karena dampak yang
ditimbulkan dari perilaku penelantaran tidak hanya bersifat sementara, namun
ada juga dampak dalam jangka panjang. Dampak dari penelantaran pada anak
diantaranya adalah trauma yang akan dialami oleh anak, peniruan sikap dari
orang tuanya, masa depan anak menjadi kurang jelas, serta sikap membenci pada
orang tua yang telah menelantarkannya.
Pada UUD RI 1945 Pasal 28A
memuat “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selain itu
hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (1989) juga memuat tentang jaminan
perlindungan terhadap penyiksaan, hak atas nama dan identitas kewarganegaraan,
dan hak atas jaminan sosial.
Daftar Pustaka:
Contoh Kasus Pelanggaran HAM: Kasus Marsinah
Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang
aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah
menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong
Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan
kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof.
Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada
tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh
Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur
mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha
agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji
sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati
oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT.
CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT.
CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah
dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur
Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah
dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas
rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya
bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi
buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan
12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per
hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan
ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih
aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan
perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh
yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka
dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah
bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan
rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar
pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat
pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu
Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam
dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan
satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental
selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control
dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga
termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka
sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan
Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya
rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan
memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah
seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota
TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto
(pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat
rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry
putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun
penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga
12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
“direkayasa”.
Analisis:
Berdasarkan apa yang di beritakan oleh kasus di
atas, kasus di atas merupakan kategori kasus pelanggaran HAM karna dalam kasus
tersebut terdapat unsur – unsur pelanggaran HAM yang ada di dalam Pasal 9 UU No
26 Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure
pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan
dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
1) Pembunuhan;
2) Pemusnahan;
3) Perbudakan;
4) pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa;
5) Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) Penyiksaan;
7) Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara,
8) Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
9) Penghilangan
orang secara paksa;
10) Kejahatan
apartheid.
Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam
penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang
berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni
Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian
kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM
dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut :
1) Tahap
Penyelidikan ( Komnas HAM )
2) Tahap
Penyidikan ( Jaksa Agung )
3) Tahap
Penuntutan ( Jaksa Agung )
4) Pemeriksaan
Di Pengadilan HAM
Daftar Pustaka:
Sumber: di olah dari UU No. 26 Tahun 2000
Contoh Kasus Korupsi: Para Petinggi Akademi Perawatan Cut Nyak Dhien
Lagi-lagi korupsi
merambah bidang pendidikan Aceh. Setelah sebelumnya mantan Direktur dan
Bendahara Farmasi Banda Aceh, kini giliran para petinggi di Akper Cut Nyak
Dhien Banda Aceh melakukan penyimpangan dana hibah APBA. Indikasi kerugian
negara pun tak tanggung-tanggung, mencapai Rp1,3 miliar.
Kasus sumber dana hibah
tahun 2012 di Akper Cut Nyak Dhien Banda Aceh ini, mulai diusut Kejaksaan
Negeri (Kejari) Banda Aceh, Juli 2014 dan penanganannya sudah ditingkatkan ke
penyidikan pada 29 Agustus 2014. Dalam kasus ini penyidik telah menetapkan lima
calon tersangka yang semuanya merupakan petinggi di Akper Cut Nyak Dhien, Banda
Aceh.
“Kasus ini sudah kami
tingkatkan ke penyidikan, Jumat 29 Agustus 2014. Indikasi kerugian negara
sementara menurut hitungan penyidik Rp1,3 miliar, masing-masing Rp1,1 miliar
sumber hibah APBA 2012 dan Rp 211 juta sumber DIPA Akper tahun 2012. Namun,
kerugian sebenarnya nanti setelah BPKP melakukan penghitungan atau adit
kerugian negara,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Banda Aceh, Husni
Thamrin SH di Banda Aceh, Minggu (31/8). Husni menjelaskan, kasus indikasi
korupsi melibatkan para pengurus Akper Cut Nyak Dhien ini terjadi pada tahun
2012. Tahun itu, katanya, Pengurus Akper Cut Nyak Dhien mengajukan naskah
(proposal) ke Pemerintah Aceh, guna meminta bantuan hibah untuk biaya praktek
lapangan (PPL) mahasiswa ke Malaysia.
Pemerintah Aceh
menyanggupi proposal tersebut dan pada bulan Juli 2012 mencairkan anggaran
senilai Rp2,3 miliar. Sementara pada April dan Mei 2012, Akper Cut Nyak Dhien
memberangkatkan 80 mahasiswa (40 orang bulan April dan 40 orang bulan Mei) ke
Hospital Pusrawi Malaysia. Untuk sementara, anggaran keberangkatan ini dikutip
dari para mahasiswa masing-masing Rp2 juta.
“Begitu cair dana hibah
pada bulan Juli 2012 Rp2,3 miliar, uang mahasiswa yang dikutip ini
dikembalikan, namun pengembalian itu ada mahasiswa yang tidak menerima Rp2 juta
sesuai uang yang dikutip sebelumnya,” tutur Husni didampingi Kasipidsus, Kasi
Intel dan Kasipidum.
Selanjutnya, pada bulan
Juli 2012, para pengurus Akper Cut Nyak Dhien kembali mengambil inisiatif
sendiri, dengan memberangkatkan 80 mahasiswa lainnya PPL ke RS Adam Malik,
Medan. “Nah, dana ini mereka kutip juga dari mahasiswa Rp1 juta per orang.
Lalu, kemudian diganti juga dengan dana hibah yang dikucurkan pemerintah,”
sebutnya.
Dari barang-bukti
ditemukan penyidik, jumlah anggaran hibah yang dikucurkan Rp2,3 miliar dengan
jumlah uang yang digunakan, termasuk dibayarkan ke mahasiswa, masih ada
kelebihan dana Rp1,1 miliar. Namun hingga akhir masa anggaran 31 Desember 2012,
kelebihan tersebut tidak dikembalikan ke kas daerah, sesuai prosedur penggunaan
dana hibah.
“Selain sisa dana
tersebut, masih ada dana DIPA tahun yang sama Rp211 juta yang juga tidak dapat
dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dalam laporan mereka, sisa dana hibah dan
dana DIPA ini diperuntukkan membangun Pos Satpam dan membeli alat-alat
perpustakaan. Artinya dana hibah yang mestinya dikembalikan ke kas daerah,
digunakan ke alokasi lain,” rinci Husni.
Dalam kasus ini,
penyidik Kejari Banda Aceh menetapkan 5 petinggi Akper Cut Nyak Din sebagai
calon tersangka, di antaranya, SY (mantan direktur ), NLS (bendahara), ML
(pembantu direktur), SD (pembantu direktur) dan TA (sub pelaksana).
Ke-5 calon tersangka
dijerat Pasal 2 jo Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 yang telah
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHPidana. (amin/01)
Analisis:
Bahwa tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain itu, untuk
lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dasar Hukum :
1) Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme;
4) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU ini mengatur tentang
:
Beberapa ketentuan dan
penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1) Pasal
2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang
ini;
2) Ketentuan
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12,
rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam
masing-masing pasal Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang diacu;
3) Di
antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A,
Pasal 12 B, dan Pasal 12 C;
4) Di
antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A;
5) Pasal
37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A;
6) Di
antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A,
Pasal 38 B, dan Pasal 38 C;
7) Di
antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan
Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di
antara Pasal 43 dan Pasal 44;
8) Dalam
BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B.
Berdasarkan kasus di
atas dapat di lihat bahwa para petinggi di Akademi Keperawatan (AKPER) Cut Nyak
Dien Banda Aceh telah melakukan tindakan korupsi. Penyebab terjadinya korupsi
ada kaitannya juga dengan aparat penegak hukum yang tidak serius untuk
memberantas korupsi yang telah mewabah di Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini. Akibatnya banyak orang yang melakukan tindakan korupsi terus menerus karna
merasa hukuman yang di berikan hanya di pennjara, beda dengan Negara-negara
lain yang memberikan hukuman gantung atau yang lainnya. Seharusnya di Indonesia
di berlakukan hukuman seperti itu agar orang-orang yang korupsi jera dan tidak
akan mengulangi perbuatan tersebut, dan juga sebagai contoh untuk orang-orang
yang ingin melakukan tindakan korupsi. Disamping kekuatan hukum yang masih
sangat lemah dan tidak tegasnya para penegak hukum dalam menghukum para pelaku
korupsi ada empat (4) hal korupsi itu terjadi dinegeri kita ini, yaitu :
1) Tidak
ada kemauan politik dari Negara untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama
dan mereka masih banyak menjadi bagian dari persoalan korupsi.
2) Masyarakat
kehilangan makna bahwa korupsi sangat menyengsarakan kehidupannya, sehingga
kesulitan untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi.
3) Modus
korupsi yang terjadi semakin beragam dan semakin tinggi kualitasnya.
4) Korupsi
dijadikan sebagai kasus biasa, padahal merupakan tindak pidana dan pelnggaran
HAM yang berat.
Daftar Pustaka:
Contoh Kasus Pidana: Percobaan Perampokan Toko Emas
Prabumulih, Palembang
Pos.-
Pengadilan Negeri (PN)
Prabumulih menggelar sidang perdana perkara percobaan perampokan terhadap
pemilik Toko Emas Sinar Jaya, Amin bin Aman, warga Jalan Jendral Sudirman
Kelurahan Pasar I Kecamatan Prabumulih Utara, Rabu (02/05) sekitar pukul 12.30
WIB.
Duduk sebagai terdakwa
dalam perkara tersebut, Juwandie (36), warga Jl Jendral Sudirman Kelurahan
Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur, dan Soerinto (38), warga Jl Rama Gang
Tunggal Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur. Selama menjalani
persidangan kedua terdakwa didampingi oleh kuasa hukumnya.
Sidang dipimpin Ketua
Pengadilan Negeri Prabumulih, Nun Suhaini SH MH, hakim anggota Aris Fitra
Wijaya SH dan Nugraha Medika Perkasa SH dan Panitera Budi Suarno SH. Agendanya
mendengar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dibacakan Kholil Sahari SH dan
Harry SH.
Dalam dakwaannya, JPU
menyatakan kedua terdakwa, didakwa pasal tunggal yakni pasal 365 (2) ke-1 KUH
Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana. “Bahwa kedua terdakwa mencoba melakukan
kejahatan, mengambil barang sesuatu yang seluruhnya, atau sebagian kepunyaan
orang lain. Maksudnya untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang
dengan maksud untuk mempermudah pencurian, pada waktu malam hari dalam sebuah
rumah, dilakukan oleh dua orang,” ujar JPU membacakan dakwaan.
Lebih lanjut JPU
menyatakan, perbuatan kedua terdakwa diatur dalam Pasal 365 (2). “Perbuatan kedua terdakwa, sebagaimana diatur
dan diancam dalam pasal 365 (2) ke-1 KUH Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana,”
sambung JPU.
Usai pembacaan, dakwaan
majelis hakim menyatakan menunda persidangan dan akan kembali dilanjutkan,
Kamis (10/05) dengan memerintahkan JPU menghadirkan saksi.
“Sidang kita tunda, dan
dilanjutkan, Kamis depan agenda pemeriksaan saksi yang akan dihadirkan JPU.
Terdakwa silakan kembali keruang tahanan,” pungkas Ketua Majelis seraya
mengetukkan palu tanda berakhirnya persidangan.
Sekedar mengingatkan,
kedua terdakwa diseret ke meja hijau, setelah keduanya mencoba melakukan
percobaan pencurian terhadap toko mas Sinar Jaya pada 3 Februari lalu. Lantaran
mendapat perlawanan dan diteriaki oleh korban Amin (pemilik toko mas, red)
keduanya berhasil kabur.
Namun selang berapa
menit, terdakwa Soerinto menyerahkan diri kepada kepolisan, dari pengakuan Soerinto, dan
berdasarkan rekaman kamera CCTV yang terpasang ditoko korban, tiga minggu
kemudian terdakwa Juwandie, yang diduga
sebagai otak pelaku, berhasil dirinngkus Satuan Reskrim Prabumulih pimpinan AKP
Raphael Lingga ST SH.
Analisis:
Didakwa pasal tunggal
yakni pasal 365 (1) KUH Pidana junto
pasal 53 (1) KUH Pidana. “Bahwa kedua terdakwa mencoba melakukan kejahatan,
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya, atau sebagian kepunyaan orang lain.
Maksudnya untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau
diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud
untuk mempermudah pencurian, pada waktu malam hari dalam sebuah rumah,
dilakukan oleh dua orang”.
Perbuatan kedua
terdakwa tersebut juga dapat diatur dalam Pasal 365 (2) dengan hukuman penjara
selama – lamanya 12 tahun. Ini diperjelas dengan pasal 365 (2) 1e, dan 2e,
bahwa perbuatan tersebut dilakukan pada malam hari dan dilakukan oleh dua orang bersama-sama.
Jadi hukuman yang
diberikan kepada terdakwa menurut pasal pidana tersebut selama 12 tahun tetapi
karena adanya unsur percobaan seperti yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1 yang
berbunyi “Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si
pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak
sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya
sendiri”
Dan diperjelas lagi
dalam pasal 53 ayat 2 “Maksimum hukuman utama, yang diadakan bagi kejahatan
dikurangkan dengan sepertiganya dalam hal percobaan”, maka hukuman bagi
terdakwa seharusnya selama 8 tahun. Hal ini karena sepertiga dari 12 tahun
adalah 4 tahun, dan karena percobaan maka 12 tahun dikurangi sepertiganya yaitu
4 tahun, ancaman hukumannya menjadi 8 tahun.
Daftar Pustaka:
Palembang Pos. 2012. Kasus
Percobaan Perampokan Toko Emas Disidang. http://palembang-pos.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1063:kasus-percobaan-perampokan-toko-emas-disidang&catid=49:sumsel-raya&Itemid=62.
Diakses tanggal 28 April 2014
http://uktibintiarifah.blogspot.co.id/2016/01/contoh-kasus-pidana-percobaan-dan.html
Kamis, 22 Juni 2017
Contoh Kasus Hukum Pidana: Pria dibacok oleh Lima Orang yang Mengaku Ormas
JAKARTA,
KOMPAS.com - Irfan Kurniawan (30) mengalami luka bacokan yang
cukup parah setelah dikeroyok lima orang yang mengaku berasal dari organisasi kemasyarakatan
tertentu. Warga Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, itu pun harus menjalani
perawatan intensif di rumah sakit.
"Kejadiannya di
perempatan DDN, Pondok Labu, tengah hari," kata Komisaris Nuredy
Irwansyah, Kapolsek Metro Cilandak saat ditemui di Mapolres Metro Jakarta
Selatan, Jumat (14/12/2012).
Peristiwa tersebut
berawal saat Irfan sedang mengatur lalu lintas yang macet di perempatan DDN.
Tiba-tiba muncul rombongan pelaku yang mengendarai sepeda motor dan menyerobot
jalur.
Melihat tingkah
tersebut, Irfan langsung menegur salah seorang pelaku. Namun, teguran itu
justru tidak diterima oleh pelaku yang langsung menghentikan kendaraannya.
"Tegurannya
dijawab dengan keras juga. Kata dia, kamu nggak tahu apa saya ini anggota
ormas," kata Nuredy menirukan ucapan pelaku.
Dibantu rekan-rekannya,
pelaku lantas membacok korban dengan menggunakan senjata tajam jenis golok.
Korban yang terluka parah di bagian tangan, kepala bagian belakang, dan
punggung, kemudian dilarikan warga ke RS Marinir Cilandak untuk mendapat
bantuan medis.
Sementara itu, petugas
kepolisian langsung melakukan pengejaran setelah mendapatkan keterangan dari
beberapa saksi dari lokasi kejadian.
Analisis:
Hukum pidana adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam dalam
meniadakan pelanggaran kepentingan umum.
Syarat suatu perbuatan
atau peristiwa dikatan sebagai peristiwa pidana adalah:
a) Ada
perbuatan atau kegiatan.
b) Perbuatan
harus sesuai dengan apa yang dilukiskan/dirumuskan dalam ketentuan hukum.
c) Harus
terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
d) Harus
berlawanan/bertentangan dengan hukum.
e) Harus
tersedia ancaman hukumnya.
Dalam kasus di atas
dapat di lihat bahwa pelaku tidak terima atas teguran yang di lakukan saudara
Irfan, dan akhirnya pelaku pun marah serta melakukan tindakan pengeroyoka
terhadap saudara Irfan. Kasus diatas termasuk suatu peristiwa pidana karena
kasus tersebut memenuhi syarat-syarat peristiwa pidana, dimana terjadi
penganiayaan, pengeroyokan dan pembacokan terhadap saudara Irfan oleh lima
orang yang mengaku sebagai ormas tersebut. Ini dibuktikan dengan adanya laporan
dari beberapa saksi di TKP yang langsung melaporkan kepada aparat kepolisian
stempat. Disini jelas bahwa perbuatan kelima orang tersebut melanggar hukum,
yakni pasal 351,354, dan 358 KUHP tentang Penganiayaan.
Pasal
351 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
“Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” dan “Jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun”.
Pasal
354 ayat 1 yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja
melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun”.
Pasal
358 (1) yang berbunyi:
“Mereka yang sengaja
turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang,
selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya,
diancam: dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat”.
Daftar Pustaka:
Contoh Kasus cybercrime: Router dan CCTV dua Alat Untuk Curi Uang dari Rekening
Jakarta, CNN Indonesia
-- Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri telah menangkap IIT, pelaku kejahatan
siber dengan modus mencuri uang setelah meretas akun rekening korbannya.
Menurut tim penyidik, terdapat dua alat utama yang digunakan IIT dan rekannya,
yang saat ini masih buron, agar bisa melaksanakan kejahatannya tersebut.
Alat pertama adalah router, alat kecil yang bisa "merekam" segala aktivitas yang dilakukan saat seseorang melakukan transaksi menggunakan ATM. Alat tersebut dipasangkan dalam sebuah ATM dengan cara membongkarnya diam-diam.
Kepala Sub Direktorat Cyber Crime Dir Tipideksus Bareskrim Polri, Komisaris Besar Rachmad Wibowo, mengungkapkan otak-atik yang dilakukan para pelaku tidak terdeteksi lantaran mereka menutup kamera CCTV yang terletak di bilik ATM. (Baca juga: Polri Tangkap Pelaku Pembobol Rekening asal Bulgaria)
"Mereka menutup CCTV di bilik dengan menggunakan plester. Pihak bank tidak sadar karena mereka tidak setiap saat memperhatikan CCTV tersebut," kata Rachmad saat ditemui di Bareskrim Polri, Senin (20/4).
Selain menggunakan router, IIT dan rekannya juga memasang sebuah kamera kecil di bawah tudung pelindung nomor di ATM tersebut. Rachmad menjelaskan para pelaku merakit sendiri kamera tersebut agar bisa diletakkan di sana.
Tujuannya adalah untuk
bisa mengetahui nomor sandi dari rekening yang akan mereka curi uangnya. Kamera
kecil tersebut pun diambil dari pena yang biasa dijual dan memiliki sistem
kamera di dalamnya.
"Jadi mereka merakit sendiri kamera itu dengan mengambil dari sebuah pena dan disimpan di tudung pelindung nomor PIN di ATM," ujar Rachmad melanjutkan. (Baca juga: Kisah Ponsel Terlaris yang Dipakai Pembobol Bank)
Setelah menemukan orang yang akan menjadi target pencurian, para pelaku pun lantas merekam isi transaksi dari rekening korban serta tak lupa mengingat nomor sandinya. Setelah itu dengan menggunakan router, data rekaman kartu yang menjadi incaran pun dipindahkan ke kartu palsu (white card) untuk setelahnya para pelaku mengambil uang para korban.
Setelah mendapat laporan dari bank swasta dan penyelidikan sejak Desember 2014, penyidik Tipideksus pun berhasil meringkus IIT di sebuah villa di Seminyak, Bali. Penyidik pun mengamankan barang bukti ribuan kartu palsu yang berisikan data magnetic stipe nasabah yang identitas telah dicuri, komputer, magnetic card writer, serta uang dalam berbagai bentuk mata uang seperti USD, Euro, SGD, Rial, RM, HKD, Lira, dan RMB yang setara dengan Rp 500 juta.
Analisis:
Berdasarkan berita di
media online CNN Indonesia, disebutkan bahwa pelaku kejahatan ini melanggar
Pasal 362, 363, 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 30 jo Pasal 46 atau
Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, serta Pasal 3, 4, 5, dan 10 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan hukuman maksimal delapan
tahun penjara.
Pasal
362 KUHP
Yang dikenakan untuk
kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain
walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang dengan
menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di
e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual
yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu
bukanlah orang yang melakukan transaksi. Pidana Penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 406 KUHP
Dapat dikenakan pada
kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website
atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Pasal 30 UU ITE tahun 2008 ayat 3 :
Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer dan/atau system elektronik
dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system
pengaman (cracking, hacking, illegal access). Ancaman pidana pasal 46 ayat 3
setiap orang yang memebuhi unsure sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat 3
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) dan/atau denda paling
banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan:
Dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen
Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan
media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat
pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau
ditransformasikan. Misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD - ROM), dan
Write - Once - Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang
tersebut sebagai alat bukti yang sah.
Motif kejahatan dalam kasus
ini yaitu mencuri uang setelah meretas akun rekening korban. Adapun korbannya
sendiri bukan warga Negara Indonesia. Tapi mereka mengincar warga Negara asing
yang sedang berlibur ke bali dan hanya mengambil sebagian kecil dari rekening
korban. Motif mereka memilih warga Negara asing sebagai target karena WNA
tersebut tidak akan mengecek kondisi keuangan mereka setidaknya sampai mereka
kembali ke Negara asal mereka.
Daftar Pustaka:
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen: Penarikan Obat Nyamuk Hit
Pada hari Rabu, 7 Juni
2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan
akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos
yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di
pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi
Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan
penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan
terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel
pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006.Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM
periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus terdaftar
(teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada
kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan.
Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas
terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi
tersebut.
Analisis:
Dalam kasus ini
terbukti bahwa kita sebagai konsumen pun harus teliti dalam membeli barang agar
tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen. Adapun pasal-pasal
yang harus konsumen ketahuin, diantaranya seperti:
1) Kritis
terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
2) Teliti
sebelum membeli;
3) Biasakan
belanja sesuai rencana;
4) Memilih
barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan
dan kesehatan;
5) Membeli
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
6) Perhatikan
label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
Pasal 4, hak konsumen
adalah :
a) Ayat
1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.
b) Disini
pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti
Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas
asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun
2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak
ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN
juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan
Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna,
pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil
yellow).
c) Ayat
3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa”.
d) Para
pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie
ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi
makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit
konsumen dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya.
Daftar Pustaka:
Langganan:
Postingan (Atom)