[BEKASI] Sejak tinggal
dan menginap di pos satpam perumahan, DA (8) tidak di izinkan oleh kedua orang
tuanya Utomo Permono (45) dan Nurindria Sari (42) untuk peergi ke sekolah.
Begitu pula dengan kakak kembarnya, LS (10) dan CK (10), tidak diperkenankan pergi
ke sekolah sejak sebulan belakangan ini.
"Sejak DA tidur di pos satpam, kedua
orangtuanya melarang mereka berangkat ke sekolah,” ujar Bendahara RT 03,
Fatimah, Jumat (15/5).
Dia mengatakan, DA bersama
dengan kakak kembarnya LS dan CK, merupakan murid SD N Cileungsi I, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. DA baru duduk di bangku kelas II, kakak kembarnya duduk di
Kelas IV. Sedangkan dua adik perempuannya yakni AL dan DN belum bersekolah.
Menurut pengakuan DA, kata Fatimah, orangtuanya mengatakan anak-anaknya tidak
perlu lagi mengecap pendidikan di sekolah.
"Kata papa, enggak
perlu sekolah lagi," ujar Fatimah menirukan ucapan DA beberapa waktu lalu.
Warga sekitar, sambung
Fatimah, sudah mulai curiga dengan keluarga Utomo Purnomo dan Nurindria Sari
sejak empat hari tinggal di Citra Gran Cibubur, Cluster Nusa Dua Blok E No. 37,
RT 03/RW 11 Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa
Barat. Saat itu, kata dia, kecurigaan warga muncul setelah mendapati DA tengah
menangis pada malam hari di depan rumahnya.
"Mereka tinggal
disini sekitar satu tahun. Namun baru empat hari menetap, kami mulai curiga ada
yang tidak beres dengan keluarga ini. Saat itu, kami melihat anaknya (DA)
menangis malam hari sekitar pukul 20:00 WIB. Itu kasus yang pertama dan kami
sepakat untuk melaporkan hal ini kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) bila terjadi lagi hal serupa,” ungkap Fatimah.
Setelah kejadian itu, ternyata
menyusul kasus-kasus kekerasan lainnya yang menimpa kelima anaknya terutama
terhadap DA.
“Tetangga di sebelah
rumah sering mendengar teriakan DA yang disakiti. Pernah satu ketika, warga
melihat pungung DA tampak luka lebam. Setelah ditanya ternyata, dirinya
mendapat pukulan dari ibunya,” papar Fatimah.
"Kami menanyakan
hal itu karena kasihan. Tapi jawaban DA, anak laki-laki harus didik seperti
ini, tidak boleh cengeng," kenang Fatimah.
Meski begitu warga sekitar
melaporkan kekerasan ini kepada pihak berwajib maupun Komisi Perlindungan Anak
Indonesia atau Komisi Nasional Perlindungan Anak. Warga sekitar, tidak diam
menyaksikan kasus kekerasan dan penelantaran anak-anak di wilayahnya. Bahkan,
beberapa warga aktif memberikan informasi kepada pihak berwenang.
"Sampai muncul
adanya broadcast BBM dan di media sosial lainnya. Kasus ini langsung ditangani
oleh pihak berwajib," imbuhnya. [160/L-8]
Analisis:
Berdasarkan kasus
penelantaran anak yang terjadi di Bekasi sebagaimana telah dijelaskan di atas,
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penelantaran anak dan kekerasan
yaitu kurangnya interaksi antara orangtua dengan anak. Sehingga apabila anak
melakukan kesalahan, orangtua selalu menganggap bahwa kesalahan tersebut akibat
anaknya yang nakal. Selain itu orangtua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan
kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Serta
pemahaman yang salah tentang makna mendidik anak. Sebab sesuai dengan kasus
kekerasan terhadap anak yang terjadi di Bekasi ini, orangtua menganggap bahwa
dengan kekerasan adalah salah satu cara untuk mendidik agar anak tidak cengeng.
Kasus-kasus
penelantaran anak yang sering terjadi saat ini tidak hanya meresahkan bagi
pihak keluarga pelaku, namun juga warga masyarakat. Karena dampak yang
ditimbulkan dari perilaku penelantaran tidak hanya bersifat sementara, namun
ada juga dampak dalam jangka panjang. Dampak dari penelantaran pada anak
diantaranya adalah trauma yang akan dialami oleh anak, peniruan sikap dari
orang tuanya, masa depan anak menjadi kurang jelas, serta sikap membenci pada
orang tua yang telah menelantarkannya.
Pada UUD RI 1945 Pasal 28A
memuat “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selain itu
hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (1989) juga memuat tentang jaminan
perlindungan terhadap penyiksaan, hak atas nama dan identitas kewarganegaraan,
dan hak atas jaminan sosial.
Daftar Pustaka: