Sabtu, 24 Juni 2017

Kasus anak Terlantar di Bekasi

[BEKASI] Sejak tinggal dan menginap di pos satpam perumahan, DA (8) tidak di izinkan oleh kedua orang tuanya Utomo Permono (45) dan Nurindria Sari (42) untuk peergi ke sekolah. Begitu pula dengan kakak kembarnya, LS (10) dan CK (10), tidak diperkenankan pergi ke sekolah sejak sebulan belakangan ini.

"Sejak DA tidur di pos satpam, kedua orangtuanya melarang mereka berangkat ke sekolah,” ujar Bendahara RT 03, Fatimah, Jumat (15/5).

Dia mengatakan, DA bersama dengan kakak kembarnya LS dan CK, merupakan murid SD N Cileungsi I, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. DA baru duduk di bangku kelas II, kakak kembarnya duduk di Kelas IV. Sedangkan dua adik perempuannya yakni AL dan DN belum bersekolah. Menurut pengakuan DA, kata Fatimah, orangtuanya mengatakan anak-anaknya tidak perlu lagi mengecap pendidikan di sekolah.

"Kata papa, enggak perlu sekolah lagi," ujar Fatimah menirukan ucapan DA beberapa waktu lalu.

Warga sekitar, sambung Fatimah, sudah mulai curiga dengan keluarga Utomo Purnomo dan Nurindria Sari sejak empat hari tinggal di Citra Gran Cibubur, Cluster Nusa Dua Blok E No. 37, RT 03/RW 11 Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Saat itu, kata dia, kecurigaan warga muncul setelah mendapati DA tengah menangis pada malam hari di depan rumahnya.

"Mereka tinggal disini sekitar satu tahun. Namun baru empat hari menetap, kami mulai curiga ada yang tidak beres dengan keluarga ini. Saat itu, kami melihat anaknya (DA) menangis malam hari sekitar pukul 20:00 WIB. Itu kasus yang pertama dan kami sepakat untuk melaporkan hal ini kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) bila terjadi lagi hal serupa,” ungkap Fatimah.

Setelah kejadian itu, ternyata menyusul kasus-kasus kekerasan lainnya yang menimpa kelima anaknya terutama terhadap DA.

“Tetangga di sebelah rumah sering mendengar teriakan DA yang disakiti. Pernah satu ketika, warga melihat pungung DA tampak luka lebam. Setelah ditanya ternyata, dirinya mendapat pukulan dari ibunya,” papar Fatimah.

"Kami menanyakan hal itu karena kasihan. Tapi jawaban DA, anak laki-laki harus didik seperti ini, tidak boleh cengeng," kenang Fatimah. 

Meski begitu warga sekitar melaporkan kekerasan ini kepada pihak berwajib maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau Komisi Nasional Perlindungan Anak. Warga sekitar, tidak diam menyaksikan kasus kekerasan dan penelantaran anak-anak di wilayahnya. Bahkan, beberapa warga aktif memberikan informasi kepada pihak berwenang.

"Sampai muncul adanya broadcast BBM dan di media sosial lainnya. Kasus ini langsung ditangani oleh pihak berwajib," imbuhnya. [160/L-8]

Analisis:
Berdasarkan kasus penelantaran anak yang terjadi di Bekasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penelantaran anak dan kekerasan yaitu kurangnya interaksi antara orangtua dengan anak. Sehingga apabila anak melakukan kesalahan, orangtua selalu menganggap bahwa kesalahan tersebut akibat anaknya yang nakal. Selain itu orangtua mengabaikan tanggung jawab, melalaikan kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak-anak mereka. Serta pemahaman yang salah tentang makna mendidik anak. Sebab sesuai dengan kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Bekasi ini, orangtua menganggap bahwa dengan kekerasan adalah salah satu cara untuk mendidik agar anak tidak cengeng.

Kasus-kasus penelantaran anak yang sering terjadi saat ini tidak hanya meresahkan bagi pihak keluarga pelaku, namun juga warga masyarakat. Karena dampak yang ditimbulkan dari perilaku penelantaran tidak hanya bersifat sementara, namun ada juga dampak dalam jangka panjang. Dampak dari penelantaran pada anak diantaranya adalah trauma yang akan dialami oleh anak, peniruan sikap dari orang tuanya, masa depan anak menjadi kurang jelas, serta sikap membenci pada orang tua yang telah menelantarkannya.
               
Pada UUD RI 1945 Pasal 28A memuat “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Selain itu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (1989) juga memuat tentang jaminan perlindungan terhadap penyiksaan, hak atas nama dan identitas kewarganegaraan, dan hak atas jaminan sosial.

Daftar Pustaka:

Contoh Kasus Pelanggaran HAM: Kasus Marsinah

Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.

Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Analisis:
Berdasarkan apa yang di beritakan oleh kasus di atas, kasus di atas merupakan kategori kasus pelanggaran HAM karna dalam kasus tersebut terdapat unsur – unsur pelanggaran HAM yang ada di dalam Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1)      Pembunuhan;
2)      Pemusnahan;
3)      Perbudakan;
4)      pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5)      Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6)      Penyiksaan;
7)      Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
8)      Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9)      Penghilangan orang secara paksa;
10)  Kejahatan apartheid.

Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut :
1)      Tahap Penyelidikan ( Komnas HAM )
2)      Tahap Penyidikan ( Jaksa Agung )
3)      Tahap Penuntutan ( Jaksa Agung )
4)      Pemeriksaan Di Pengadilan HAM

Daftar Pustaka:

Sumber: di olah dari UU No. 26 Tahun 2000 

Contoh Kasus Korupsi: Para Petinggi Akademi Perawatan Cut Nyak Dhien

Lagi-lagi korupsi merambah bidang pendidikan Aceh. Setelah sebelumnya mantan Direktur dan Bendahara Farmasi Banda Aceh, kini giliran para petinggi di Akper Cut Nyak Dhien Banda Aceh melakukan penyimpangan dana hibah APBA. Indikasi kerugian negara pun tak tanggung-tanggung, mencapai Rp1,3 miliar.

Kasus sumber dana hibah tahun 2012 di Akper Cut Nyak Dhien Banda Aceh ini, mulai diusut Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh, Juli 2014 dan penanganannya sudah ditingkatkan ke penyidikan pada 29 Agustus 2014. Dalam kasus ini penyidik telah menetapkan lima calon tersangka yang semuanya merupakan petinggi di Akper Cut Nyak Dhien, Banda Aceh.

“Kasus ini sudah kami tingkatkan ke penyidikan, Jumat 29 Agustus 2014. Indikasi kerugian negara sementara menurut hitungan penyidik Rp1,3 miliar, masing-masing Rp1,1 miliar sumber hibah APBA 2012 dan Rp 211 juta sumber DIPA Akper tahun 2012. Namun, kerugian sebenarnya nanti setelah BPKP melakukan penghitungan atau adit kerugian negara,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Banda Aceh, Husni Thamrin SH di Banda Aceh, Minggu (31/8). Husni menjelaskan, kasus indikasi korupsi melibatkan para pengurus Akper Cut Nyak Dhien ini terjadi pada tahun 2012. Tahun itu, katanya, Pengurus Akper Cut Nyak Dhien mengajukan naskah (proposal) ke Pemerintah Aceh, guna meminta bantuan hibah untuk biaya praktek lapangan (PPL) mahasiswa ke Malaysia.

Pemerintah Aceh menyanggupi proposal tersebut dan pada bulan Juli 2012 mencairkan anggaran senilai Rp2,3 miliar. Sementara pada April dan Mei 2012, Akper Cut Nyak Dhien memberangkatkan 80 mahasiswa (40 orang bulan April dan 40 orang bulan Mei) ke Hospital Pusrawi Malaysia. Untuk sementara, anggaran keberangkatan ini dikutip dari para mahasiswa masing-masing Rp2 juta.

“Begitu cair dana hibah pada bulan Juli 2012 Rp2,3 miliar, uang mahasiswa yang dikutip ini dikembalikan, namun pengembalian itu ada mahasiswa yang tidak menerima Rp2 juta sesuai uang yang dikutip sebelumnya,” tutur Husni didampingi Kasipidsus, Kasi Intel dan Kasipidum.

Selanjutnya, pada bulan Juli 2012, para pengurus Akper Cut Nyak Dhien kembali mengambil inisiatif sendiri, dengan memberangkatkan 80 mahasiswa lainnya PPL ke RS Adam Malik, Medan. “Nah, dana ini mereka kutip juga dari mahasiswa Rp1 juta per orang. Lalu, kemudian diganti juga dengan dana hibah yang dikucurkan pemerintah,” sebutnya.

Dari barang-bukti ditemukan penyidik, jumlah anggaran hibah yang dikucurkan Rp2,3 miliar dengan jumlah uang yang digunakan, termasuk dibayarkan ke mahasiswa, masih ada kelebihan dana Rp1,1 miliar. Namun hingga akhir masa anggaran 31 Desember 2012, kelebihan tersebut tidak dikembalikan ke kas daerah, sesuai prosedur penggunaan dana hibah.

“Selain sisa dana tersebut, masih ada dana DIPA tahun yang sama Rp211 juta yang juga tidak dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dalam laporan mereka, sisa dana hibah dan dana DIPA ini diperuntukkan membangun Pos Satpam dan membeli alat-alat perpustakaan. Artinya dana hibah yang mestinya dikembalikan ke kas daerah, digunakan ke alokasi lain,” rinci Husni.

Dalam kasus ini, penyidik Kejari Banda Aceh menetapkan 5 petinggi Akper Cut Nyak Din sebagai calon tersangka, di antaranya, SY (mantan direktur ), NLS (bendahara), ML (pembantu direktur), SD (pembantu direktur) dan TA (sub pelaksana).

Ke-5 calon tersangka dijerat Pasal 2 jo Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (amin/01)

Analisis:
Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain itu, untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dasar Hukum :
1)      Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2)      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3)      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4)      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU ini mengatur tentang :
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1)      Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini;
2)      Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang diacu;
3)      Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C;
4)      Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A;
5)      Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A;
6)      Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C;
7)      Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44;
8)      Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B.

Berdasarkan kasus di atas dapat di lihat bahwa para petinggi di Akademi Keperawatan (AKPER) Cut Nyak Dien Banda Aceh telah melakukan tindakan korupsi. Penyebab terjadinya korupsi ada kaitannya juga dengan aparat penegak hukum yang tidak serius untuk memberantas korupsi yang telah mewabah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Akibatnya banyak orang yang melakukan tindakan korupsi terus menerus karna merasa hukuman yang di berikan hanya di pennjara, beda dengan Negara-negara lain yang memberikan hukuman gantung atau yang lainnya. Seharusnya di Indonesia di berlakukan hukuman seperti itu agar orang-orang yang korupsi jera dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut, dan juga sebagai contoh untuk orang-orang yang ingin melakukan tindakan korupsi. Disamping kekuatan hukum yang masih sangat lemah dan tidak tegasnya para penegak hukum dalam menghukum para pelaku korupsi ada empat (4) hal korupsi itu terjadi dinegeri kita ini, yaitu :
1)      Tidak ada kemauan politik dari Negara untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama dan mereka masih banyak menjadi bagian dari persoalan korupsi.
2)      Masyarakat kehilangan makna bahwa korupsi sangat menyengsarakan kehidupannya, sehingga kesulitan untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi.
3)      Modus korupsi yang terjadi semakin beragam dan semakin tinggi kualitasnya.
4)      Korupsi dijadikan sebagai kasus biasa, padahal merupakan tindak pidana dan pelnggaran HAM yang berat.

Daftar Pustaka:

Contoh Kasus Pidana: Percobaan Perampokan Toko Emas

Prabumulih, Palembang Pos.-
Pengadilan Negeri (PN) Prabumulih menggelar sidang perdana perkara percobaan perampokan terhadap pemilik Toko Emas Sinar Jaya, Amin bin Aman, warga Jalan Jendral Sudirman Kelurahan Pasar I Kecamatan Prabumulih Utara, Rabu (02/05) sekitar pukul 12.30 WIB.

Duduk sebagai terdakwa dalam perkara tersebut, Juwandie (36), warga Jl Jendral Sudirman Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur, dan Soerinto (38), warga Jl Rama Gang Tunggal Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur. Selama menjalani persidangan kedua terdakwa didampingi oleh kuasa hukumnya.

Sidang dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Prabumulih, Nun Suhaini SH MH, hakim anggota Aris Fitra Wijaya SH dan Nugraha Medika Perkasa SH dan Panitera Budi Suarno SH. Agendanya mendengar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dibacakan Kholil Sahari SH dan Harry SH.

Dalam dakwaannya, JPU menyatakan kedua terdakwa, didakwa pasal tunggal yakni pasal 365 (2) ke-1 KUH Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana. “Bahwa kedua terdakwa mencoba melakukan kejahatan, mengambil barang sesuatu yang seluruhnya, atau sebagian kepunyaan orang lain. Maksudnya untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempermudah pencurian, pada waktu malam hari dalam sebuah rumah, dilakukan oleh dua orang,” ujar JPU membacakan dakwaan.

Lebih lanjut JPU menyatakan, perbuatan kedua terdakwa diatur dalam Pasal 365 (2).  “Perbuatan kedua terdakwa, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 365 (2) ke-1 KUH Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana,” sambung JPU.

Usai pembacaan, dakwaan majelis hakim menyatakan menunda persidangan dan akan kembali dilanjutkan, Kamis (10/05) dengan memerintahkan JPU menghadirkan saksi.

“Sidang kita tunda, dan dilanjutkan, Kamis depan agenda pemeriksaan saksi yang akan dihadirkan JPU. Terdakwa silakan kembali keruang tahanan,” pungkas Ketua Majelis seraya mengetukkan palu tanda berakhirnya persidangan.

Sekedar mengingatkan, kedua terdakwa diseret ke meja hijau, setelah keduanya mencoba melakukan percobaan pencurian terhadap toko mas Sinar Jaya pada 3 Februari lalu. Lantaran mendapat perlawanan dan diteriaki oleh korban Amin (pemilik toko mas, red) keduanya berhasil kabur.

Namun selang berapa menit, terdakwa Soerinto menyerahkan diri kepada  kepolisan, dari pengakuan Soerinto, dan berdasarkan rekaman kamera CCTV yang terpasang ditoko korban, tiga minggu kemudian terdakwa  Juwandie, yang diduga sebagai otak pelaku, berhasil dirinngkus Satuan Reskrim Prabumulih pimpinan AKP Raphael Lingga ST SH.

Analisis:
Didakwa pasal tunggal yakni pasal 365 (1)  KUH Pidana junto pasal 53 (1) KUH Pidana. “Bahwa kedua terdakwa mencoba melakukan kejahatan, mengambil barang sesuatu yang seluruhnya, atau sebagian kepunyaan orang lain. Maksudnya untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempermudah pencurian, pada waktu malam hari dalam sebuah rumah, dilakukan oleh dua orang”.

Perbuatan kedua terdakwa tersebut juga dapat diatur dalam Pasal 365 (2) dengan hukuman penjara selama – lamanya 12 tahun. Ini diperjelas dengan pasal 365 (2) 1e, dan 2e, bahwa perbuatan tersebut dilakukan pada malam hari  dan dilakukan oleh dua orang bersama-sama.

Jadi hukuman yang diberikan kepada terdakwa menurut pasal pidana tersebut selama 12 tahun tetapi karena adanya unsur percobaan seperti yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”


Dan diperjelas lagi dalam pasal 53 ayat 2 “Maksimum hukuman utama, yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya dalam hal percobaan”, maka hukuman bagi terdakwa seharusnya selama 8 tahun. Hal ini karena sepertiga dari 12 tahun adalah 4 tahun, dan karena percobaan maka 12 tahun dikurangi sepertiganya yaitu 4 tahun, ancaman hukumannya menjadi 8 tahun.

Daftar Pustaka:

Kamis, 22 Juni 2017

Contoh Kasus Hukum Pidana: Pria dibacok oleh Lima Orang yang Mengaku Ormas

JAKARTA, KOMPAS.com - Irfan Kurniawan (30) mengalami luka bacokan yang cukup parah setelah dikeroyok lima orang yang mengaku berasal dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Warga Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, itu pun harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

"Kejadiannya di perempatan DDN, Pondok Labu, tengah hari," kata Komisaris Nuredy Irwansyah, Kapolsek Metro Cilandak saat ditemui di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Jumat (14/12/2012).

Peristiwa tersebut berawal saat Irfan sedang mengatur lalu lintas yang macet di perempatan DDN. Tiba-tiba muncul rombongan pelaku yang mengendarai sepeda motor dan menyerobot jalur.

Melihat tingkah tersebut, Irfan langsung menegur salah seorang pelaku. Namun, teguran itu justru tidak diterima oleh pelaku yang langsung menghentikan kendaraannya.

"Tegurannya dijawab dengan keras juga. Kata dia, kamu nggak tahu apa saya ini anggota ormas," kata Nuredy menirukan ucapan pelaku.

Dibantu rekan-rekannya, pelaku lantas membacok korban dengan menggunakan senjata tajam jenis golok. Korban yang terluka parah di bagian tangan, kepala bagian belakang, dan punggung, kemudian dilarikan warga ke RS Marinir Cilandak untuk mendapat bantuan medis.
Sementara itu, petugas kepolisian langsung melakukan pengejaran setelah mendapatkan keterangan dari beberapa saksi dari lokasi kejadian.

Analisis:
Hukum pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum.
Syarat suatu perbuatan atau peristiwa dikatan sebagai peristiwa pidana adalah:
a)      Ada perbuatan atau kegiatan.
b)      Perbuatan harus sesuai dengan apa yang dilukiskan/dirumuskan dalam ketentuan hukum.
c)      Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
d)     Harus berlawanan/bertentangan dengan hukum.
e)      Harus tersedia ancaman hukumnya.

Dalam kasus di atas dapat di lihat bahwa pelaku tidak terima atas teguran yang di lakukan saudara Irfan, dan akhirnya pelaku pun marah serta melakukan tindakan pengeroyoka terhadap saudara Irfan. Kasus diatas termasuk suatu peristiwa pidana karena kasus tersebut memenuhi syarat-syarat peristiwa pidana, dimana terjadi penganiayaan, pengeroyokan dan pembacokan terhadap saudara Irfan oleh lima orang yang mengaku sebagai ormas tersebut. Ini dibuktikan dengan adanya laporan dari beberapa saksi di TKP yang langsung melaporkan kepada aparat kepolisian stempat. Disini jelas bahwa perbuatan kelima orang tersebut melanggar hukum, yakni pasal 351,354, dan 358 KUHP tentang Penganiayaan.

Pasal 351 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” dan “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

Pasal 354 ayat 1 yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.

Pasal 358 (1) yang berbunyi:
“Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam: dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat”.

Daftar Pustaka:

Contoh Kasus cybercrime: Router dan CCTV dua Alat Untuk Curi Uang dari Rekening

Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal  Polri telah menangkap IIT, pelaku kejahatan siber dengan modus mencuri uang setelah meretas akun rekening korbannya. Menurut tim penyidik, terdapat dua alat utama yang digunakan IIT dan rekannya, yang saat ini masih buron, agar bisa melaksanakan kejahatannya tersebut.

Alat pertama adalah router, alat kecil yang bisa "merekam" segala aktivitas yang dilakukan saat seseorang melakukan transaksi menggunakan ATM. Alat tersebut dipasangkan dalam sebuah ATM dengan cara membongkarnya diam-diam.

Kepala Sub Direktorat Cyber Crime Dir Tipideksus Bareskrim Polri, Komisaris Besar Rachmad Wibowo, mengungkapkan otak-atik yang dilakukan para pelaku tidak terdeteksi lantaran mereka menutup kamera CCTV yang terletak di bilik ATM. (Baca juga: Polri Tangkap Pelaku Pembobol Rekening asal Bulgaria)

"Mereka menutup CCTV di bilik dengan menggunakan plester. Pihak bank tidak sadar karena mereka tidak setiap saat memperhatikan CCTV tersebut," kata Rachmad saat ditemui di Bareskrim Polri, Senin (20/4).

Selain menggunakan router, IIT dan rekannya juga memasang sebuah kamera kecil di bawah tudung pelindung nomor di ATM tersebut. Rachmad menjelaskan para pelaku merakit sendiri kamera tersebut agar bisa diletakkan di sana.
Tujuannya adalah untuk bisa mengetahui nomor sandi dari rekening yang akan mereka curi uangnya. Kamera kecil tersebut pun diambil dari pena yang biasa dijual dan memiliki sistem kamera di dalamnya.

"Jadi mereka merakit sendiri kamera itu dengan mengambil dari sebuah pena dan disimpan di tudung pelindung nomor PIN di ATM," ujar Rachmad melanjutkan. (Baca juga: Kisah Ponsel Terlaris yang Dipakai Pembobol Bank)

Setelah menemukan orang yang akan menjadi target pencurian, para pelaku pun lantas merekam isi transaksi dari rekening korban serta tak lupa mengingat nomor sandinya. Setelah itu dengan menggunakan router, data rekaman kartu yang menjadi incaran pun dipindahkan ke kartu palsu (white card) untuk setelahnya para pelaku mengambil uang para korban.

Setelah mendapat laporan dari bank swasta dan penyelidikan sejak Desember 2014, penyidik Tipideksus pun berhasil meringkus IIT di sebuah villa di Seminyak, Bali. Penyidik pun mengamankan barang bukti ribuan kartu palsu yang berisikan data magnetic stipe nasabah yang identitas telah dicuri, komputer, magnetic card writer, serta uang dalam berbagai bentuk mata uang seperti USD, Euro, SGD, Rial, RM, HKD, Lira, dan RMB yang setara dengan Rp 500 juta.

Analisis:
Berdasarkan berita di media online CNN Indonesia, disebutkan bahwa pelaku kejahatan ini melanggar Pasal 362, 363, 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 30 jo Pasal 46 atau Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 3, 4, 5, dan 10 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan hukuman maksimal delapan tahun penjara.

Pasal 362 KUHP
Yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi. Pidana Penjara paling lama 5 tahun.

Pasal 406 KUHP
Dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Pasal 30 UU ITE tahun 2008 ayat 3 :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer dan/atau system elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengaman (cracking, hacking, illegal access). Ancaman pidana pasal 46 ayat 3 setiap orang yang memebuhi unsure sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan:
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD - ROM), dan Write - Once - Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.

Motif kejahatan dalam kasus ini yaitu mencuri uang setelah meretas akun rekening korban. Adapun korbannya sendiri bukan warga Negara Indonesia. Tapi mereka mengincar warga Negara asing yang sedang berlibur ke bali dan hanya mengambil sebagian kecil dari rekening korban. Motif mereka memilih warga Negara asing sebagai target karena WNA tersebut tidak akan mengecek kondisi keuangan mereka setidaknya sampai mereka kembali ke Negara asal mereka.

Daftar Pustaka:

Contoh Kasus Perlindungan Konsumen: Penarikan Obat Nyamuk Hit

Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.

HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006.Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.

Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut.

Analisis:
Dalam kasus ini terbukti bahwa kita sebagai konsumen pun harus teliti dalam membeli barang agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen. Adapun pasal-pasal yang harus konsumen ketahuin, diantaranya seperti:
1)      Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
2)      Teliti sebelum membeli;
3)      Biasakan belanja sesuai rencana;
4)      Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
5)      Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
6)      Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
Pasal 4, hak konsumen adalah :
a)      Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
b)      Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow).
c)      Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
d)     Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya.


Daftar Pustaka: