Lagi-lagi korupsi
merambah bidang pendidikan Aceh. Setelah sebelumnya mantan Direktur dan
Bendahara Farmasi Banda Aceh, kini giliran para petinggi di Akper Cut Nyak
Dhien Banda Aceh melakukan penyimpangan dana hibah APBA. Indikasi kerugian
negara pun tak tanggung-tanggung, mencapai Rp1,3 miliar.
Kasus sumber dana hibah
tahun 2012 di Akper Cut Nyak Dhien Banda Aceh ini, mulai diusut Kejaksaan
Negeri (Kejari) Banda Aceh, Juli 2014 dan penanganannya sudah ditingkatkan ke
penyidikan pada 29 Agustus 2014. Dalam kasus ini penyidik telah menetapkan lima
calon tersangka yang semuanya merupakan petinggi di Akper Cut Nyak Dhien, Banda
Aceh.
“Kasus ini sudah kami
tingkatkan ke penyidikan, Jumat 29 Agustus 2014. Indikasi kerugian negara
sementara menurut hitungan penyidik Rp1,3 miliar, masing-masing Rp1,1 miliar
sumber hibah APBA 2012 dan Rp 211 juta sumber DIPA Akper tahun 2012. Namun,
kerugian sebenarnya nanti setelah BPKP melakukan penghitungan atau adit
kerugian negara,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Banda Aceh, Husni
Thamrin SH di Banda Aceh, Minggu (31/8). Husni menjelaskan, kasus indikasi
korupsi melibatkan para pengurus Akper Cut Nyak Dhien ini terjadi pada tahun
2012. Tahun itu, katanya, Pengurus Akper Cut Nyak Dhien mengajukan naskah
(proposal) ke Pemerintah Aceh, guna meminta bantuan hibah untuk biaya praktek
lapangan (PPL) mahasiswa ke Malaysia.
Pemerintah Aceh
menyanggupi proposal tersebut dan pada bulan Juli 2012 mencairkan anggaran
senilai Rp2,3 miliar. Sementara pada April dan Mei 2012, Akper Cut Nyak Dhien
memberangkatkan 80 mahasiswa (40 orang bulan April dan 40 orang bulan Mei) ke
Hospital Pusrawi Malaysia. Untuk sementara, anggaran keberangkatan ini dikutip
dari para mahasiswa masing-masing Rp2 juta.
“Begitu cair dana hibah
pada bulan Juli 2012 Rp2,3 miliar, uang mahasiswa yang dikutip ini
dikembalikan, namun pengembalian itu ada mahasiswa yang tidak menerima Rp2 juta
sesuai uang yang dikutip sebelumnya,” tutur Husni didampingi Kasipidsus, Kasi
Intel dan Kasipidum.
Selanjutnya, pada bulan
Juli 2012, para pengurus Akper Cut Nyak Dhien kembali mengambil inisiatif
sendiri, dengan memberangkatkan 80 mahasiswa lainnya PPL ke RS Adam Malik,
Medan. “Nah, dana ini mereka kutip juga dari mahasiswa Rp1 juta per orang.
Lalu, kemudian diganti juga dengan dana hibah yang dikucurkan pemerintah,”
sebutnya.
Dari barang-bukti
ditemukan penyidik, jumlah anggaran hibah yang dikucurkan Rp2,3 miliar dengan
jumlah uang yang digunakan, termasuk dibayarkan ke mahasiswa, masih ada
kelebihan dana Rp1,1 miliar. Namun hingga akhir masa anggaran 31 Desember 2012,
kelebihan tersebut tidak dikembalikan ke kas daerah, sesuai prosedur penggunaan
dana hibah.
“Selain sisa dana
tersebut, masih ada dana DIPA tahun yang sama Rp211 juta yang juga tidak dapat
dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dalam laporan mereka, sisa dana hibah dan
dana DIPA ini diperuntukkan membangun Pos Satpam dan membeli alat-alat
perpustakaan. Artinya dana hibah yang mestinya dikembalikan ke kas daerah,
digunakan ke alokasi lain,” rinci Husni.
Dalam kasus ini,
penyidik Kejari Banda Aceh menetapkan 5 petinggi Akper Cut Nyak Din sebagai
calon tersangka, di antaranya, SY (mantan direktur ), NLS (bendahara), ML
(pembantu direktur), SD (pembantu direktur) dan TA (sub pelaksana).
Ke-5 calon tersangka
dijerat Pasal 2 jo Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 yang telah
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHPidana. (amin/01)
Analisis:
Bahwa tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain itu, untuk
lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dasar Hukum :
1) Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme;
4) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU ini mengatur tentang
:
Beberapa ketentuan dan
penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1) Pasal
2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang
ini;
2) Ketentuan
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12,
rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam
masing-masing pasal Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang diacu;
3) Di
antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A,
Pasal 12 B, dan Pasal 12 C;
4) Di
antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A;
5) Pasal
37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A;
6) Di
antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A,
Pasal 38 B, dan Pasal 38 C;
7) Di
antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan
Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di
antara Pasal 43 dan Pasal 44;
8) Dalam
BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B.
Berdasarkan kasus di
atas dapat di lihat bahwa para petinggi di Akademi Keperawatan (AKPER) Cut Nyak
Dien Banda Aceh telah melakukan tindakan korupsi. Penyebab terjadinya korupsi
ada kaitannya juga dengan aparat penegak hukum yang tidak serius untuk
memberantas korupsi yang telah mewabah di Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini. Akibatnya banyak orang yang melakukan tindakan korupsi terus menerus karna
merasa hukuman yang di berikan hanya di pennjara, beda dengan Negara-negara
lain yang memberikan hukuman gantung atau yang lainnya. Seharusnya di Indonesia
di berlakukan hukuman seperti itu agar orang-orang yang korupsi jera dan tidak
akan mengulangi perbuatan tersebut, dan juga sebagai contoh untuk orang-orang
yang ingin melakukan tindakan korupsi. Disamping kekuatan hukum yang masih
sangat lemah dan tidak tegasnya para penegak hukum dalam menghukum para pelaku
korupsi ada empat (4) hal korupsi itu terjadi dinegeri kita ini, yaitu :
1) Tidak
ada kemauan politik dari Negara untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama
dan mereka masih banyak menjadi bagian dari persoalan korupsi.
2) Masyarakat
kehilangan makna bahwa korupsi sangat menyengsarakan kehidupannya, sehingga
kesulitan untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi.
3) Modus
korupsi yang terjadi semakin beragam dan semakin tinggi kualitasnya.
4) Korupsi
dijadikan sebagai kasus biasa, padahal merupakan tindak pidana dan pelnggaran
HAM yang berat.
Daftar Pustaka:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar